Senin, 28 November 2011

kepada jiwa jiwa yang telah berpulang

"I'm not afraid of death because I don't believe in it. It just getting out of one car and into another"
-John Lennon-

Hidup itu sekotak coklat, makanya ketika dapat kabar kalau Axel kecelakaan motor aku nggak kaget yang berlebihan. Sekotak coklat milikku mungkin sedikit lebih pahit bulan ini, karena beberapa jam setelah mendapat kabar tersebut Axel telah meninggalkan dunia dan semua yang mencintainya.
Aku makan coklat pahit tersebut sambil menangis, sengaja tidak aku tahan karena ini bukan kehilangan biasa. Tuhan pasti mengerti. Tuhan pasti kasih ijin. Itu kali pertama aku menangis mendapatkan coklat pahit di bulan November ini.
Kali kedua aku menangis, bukan karena mendapatkan sebuah coklat pahit lagi melainkan karena bekas coklat yang kemarin aku makan masih terasa getirnya di lidahku. Ya, aku menangis karena nggak bisa mengantar kepergian Axel ke tempat peristirahatan terakhirnya di dunia. Axel yang sudah aku kenal sedari ia masih sangat kecil. Axel yang seringkali aku ejek, aku ajak bermain PS, yang aku bagi kedua orang tuaku seperti ia yang membagi kedua orang tuanya untukku. Tuhan, coklat itu sungguh pahit.
Kali ketiga di bulan November aku menangis, bukan karena coklat pahit di bulan ini melainkan karena coklat pahit yag aku terima dan makan 6 tahun lalu. Sungguh aku saat ini belum bisa melupakan rasanya, malah ditambah dengan coklat pahit di bulan ini. Aku kangen melihat pusara bapak. Aku sangat kangen saat ini. Tuhan, seandainya ia masih bersama dengan kami di dunia, kira kira beban yang aku rasakan saat ini apakah akan terasa lebih ringan? Tuhan aku kangen bapak dan Axel.
Aku tau aku nggak punya hak untuk mempertanyakan "kenapa mereka meninggalkan kami terlalu cepat?" karena waktu kami tidak sama dengan waktu Tuhan. Karena pasti pada saat Tuhan merengkuh mereka kedalam pangkuannya adalah waktu yang tepat bagi-Nya.
Maka kali ini aku coba mengimani bahwa yang terbaring di dalam tanah hanyalah jasad mereka, sedangkan jiwa mereka selalu ada. Dimana ada angin yang berhembus di sekitar kita, disitulah mereka berada. Dimana ada tawa maupun air mata kita, disitulah mereka ada. Dimana hati kita terasa begitu hangat tanpa suatu sebab, disitulah mereka mencoba memeluk kita.

I miss you so much!

Minggu, 20 November 2011

Manusia

-Flowers are restful to look at. They have neither emotions nor conflicts-
(Sigmund Freud)

"Mereka bilang manusia itu makhluk diatas segala makhluk. Paling mulia, bermartabat, berpendidikan, cerdas, dan kompleks. Mereka juga yang bilang manusia itu makhluk sosial, saling membutuhkan, memiliki kemampuan untuk bersimpati dan empati."
 
Kalimat ini sudah dijejalkan kedalam memori saya sedari kecil, melalui orang tua, guru guru di sekolah, sampai pemuka agama di gereja. Ketika itu saya, si gadis cilik masih polos, tidak skeptis dan membuka diri seluas luasnya atas pengetahuan baru. Saya mengaminkan kalimat tersebut.
 
21 tahun usia kehidupan amat sangat cukup untuk membongkar paksa makna harafiah yang sebenarnya dari kalimat tersebut. Ketika sudah banyak merasakan kepahitan, terlalu banyak pengkhianatan, kemunafikan berserakan disana sini, serta cacian yang sudah seperti sarapan pagi setiap harinya.
 
Pada akhirnya saya mencoba mencari arti sesungguhnya kalimat tersebut. Berbekal ke-skeptis-an yang saya miliki, ada beberapa poin yang saya petik:
 
 1. Manusia makhluk diatas segala makhluk.
Dari pelajaran agama yang saya dapatkan sejak dulu saya percaya bahwa manusia dibuat berdasarkan gambaran Allah. artinya manusia memiliki raga yang serupa dengan perwujudan Allah. Rupa rupanya manusia mengimani dan mengamini hal ini dengan sangat antusias dan sepenuh hati. Manusia bertingkah seperti dewa, tuhan, atau apapun itu yang berkuasa. Manusia menempatkan dirinya seakan akan penguasa alam semesta. Manusia memperlakukan alam bukan lagi sebagai kawan melainkan sebagai budak.
2. Manusia makhluk sosial.
Tidak ada yang salah dari kalimat ini. Manusia memang makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri. Manusia butuh manusia-manusia lain untuk menyanjungnya, memuji muji dan mengagungkannya.

3. Manusia makhluk yang cerdas.
Terlalu cerdas dan terlalu imajinatif yang pada akhirnya malahan menjadi ambisius. for real example : Adolf Hitler.

Saya sudah hampir habis kesabaran menghadapi manusia manusia lain di setiap harinya didalam kehidupan saya. Saya muak dengan banyaknya kemunafikan yang ada. Saya terlalu lelah untuk berurusan dengan drama setiap harinya. Saya lemas karena merenungi hal hal ini di subuh hari untuk mendapati bahwa pada akhirnya saya adalah manusia yang sarat akan hal hal yang saya tulis disini. :(