Jumat, 02 September 2011

homeless

selama 21 (menjelang 22) tahun hidup, baru pertama kalinya saya ngerasa nggak punya rumah.
iya, rumah : tempat untuk pulang, untuk kembali, untuk berkumpul dengan manusia manusia sedarah dengan saya.

emangnya rumah yang biasanya kenafa?

rumah yang biasa kami tempati sekeluarga sudah kehilangan para tuan dan nyonya nya seiring semakin bertambahnya usia. kakak menikah dan berkeluarga, ia pindah ke rumah lain di kota yang lain pula. saya pun begitu, merantau dan menetap seorang diri di kota orang. sedangkan abang? saya bahkan nggak mau bahas dirinya lagi. pada akhirnya hanya ada mama yang menunggui rumah itu. kala itu, saya masih bisa pulang ke rumah.

beberapa tahun kemudian keluarga kami mengalami sebuah masalah yang berkaitan dengan finansial. rumah pun terpaksa disewakan ke orang lain dan mama menetap dengan keluarga kecil kakak di pedalaman kalimantan utara. saya sedih dan terpuruk tetapi berpura pura tegar untuk sekedar menunjukkan kepada mama dan kakak bahwa masalah kami akan selesai.

sampai saat ini, kalau boleh jujur saya masih selalu terpuruk saat memikirkan betapa rumah yang menjadi tempat kami berkumpul bahkan sedari saya belum ada di dunia ini sekarang ditinggali oleh orang orang lain demi sedikit uang sewa yang setidaknya bisa meringankan masalah yang kami hadapi. lebih sedih lagi ketika menyadari bahwa saat ini kami sekeluarga tinggal berjauh-jauhan karenanya.
mama dan kakak di tanjung selor, gerry dan keshya di balikpapan, saya di jogjakarta.

jangan lagi tanyakan betapa merindunya saya untuk berkumpul bersama keluarga saya (mama, kakak, abang, pnakan ponakan saya) di ruang keluarga, bercanda dan saling menjahili. apa yang terjadi sebenarnya pada keluarga saya? rumah yang disewakan, tinggal terpisah pisah, saya yang memutuskan untuk tidak lagi bertegur sapa dengan abang. saya merasa overload, saya merasa tidak lagi waras, tidak lagi normal.

ketika kemarin harus mengisi alamat rumah di surat KHS (kartu hasil studi) untuk dikirimkan ke orang tua/wali, ada air mata menggenang di pelupuk mata saya, susah payah saya tahankan agar tidak jatuh.
"alamat rumah? apa yang harus saya isikan disini?"
seperti ada sebuah gada besar dan invisible yang menghantam dada saya, disaat itulah saya merasa homeless.

1 komentar:

  1. gapapa.... masih lebih baik punya keinginan untuk berkumpul ,selalu ada jalan..

    daripada punya rumah tapi gak punya alasan untuk pulang

    so touchy post....

    BalasHapus